Rabu, 23 April 2008

WASIAT WAJIBAH BAGI AHLI WARIS NON MUSLIM

Wasiat merupakan salah satu bentuk penyerahan atau pelepasan harta dalam syari’at Islam. Dimana wasiat dibuat karena berbagai macam alasan antara lain, untuk menghindari persengketaan, perwujudan rasa kasih sayang dan agar harta yang dimilikinya bisa digunakan untuk kepentingan orang lain.

Kata Wasiat dalam bahasa Indonesia adalah pesan terakhir yang disampaikan oleh orang yang akan meninggal (biasanya berkenaan dengan harta kekayaan dan sebaginya).
Dalam istilah Syara’ wasiat itu adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa barang, piutang ataupun manfaat untuk dimiliki oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat mati. Sebagian fuqaha mendefinisikan bahwa wasiat itu adalah pemberian hak milik secara sukarela yang dilaksanankan setelah pemberinya mati. Dari pengertian tersebut, wasiat dapat dipahami sebagai tindakan sukarela pewasiat memberikan hak atau benda kepada orang lain tanpa mengharapkan imbalan, yang pelaksanaanya berlaku setelah pewasiat meninggal dunia. Ketentuan mengenai berlakunya hukum wasiat setelah wafatnya orang yang berwasiat ini, menunjukkan perbedaan prinsipil antara wasiat dengan bentuk-bentuk pemberian atau pelepasan harta lainnya seperti jual beli, wakaf dan hibah. Seperti yang disebutkan dalam Al-Qur’an (2) ayat 180.
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.

Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf f disebutkan bahwa yang dimaksud dengan wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
Lebih lanjut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf f disebutkan bahwa anak angkat dengan orang tua angkat terbina hubungan saling berwasiat yang tertuang dalam pasal 209, yaitu:
(1) Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
(2) Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.

Berdasarkan pasal ini, harta warisan seorang anak angkat atau orang tua angkat harus dibagi sesuai dengan aturan kewarisan biasa yaitu kepada orang yang mempunyai pertalian darah (hukum kerabat) yang menjadi ahli warisnya. Oleh karena itu orang tua angkat atau anak angkat tidak akan memperoleh hak kewarisan, karena dia bukan ahli waris. Akan tetapi menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) orang tua angkat tersebut secara serta merta dianggap telah meninggalkan wasiat (dan karena itu diberi nama wasiat wajibah) maksimal sebanyak sepertiga harta, untuk anak angkatnya atau sebaliknya anak angkat untuk orang tua angkatnya. Dengan demikian sebelum pembagian waris pembagian warisan kepada para pihak yang berhak, wasiat wajibah ini perlu ditunaikan dahulu.

Konsep di atas dinamakan wasiat wajibah, karena mempunyai makna suatu tindakan pembebanan oleh hakim atau lembaga yang mempunyai hak agar harta seseorang yang telah meninggal dunia, tetapi tidak melakukan wasiat secara suka rela, agar diambil hak atau benda peninggalannya untuk diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu pula.[6]
Wasiat wajibah ini sebenarnya pertama kali dicetuskan oleh Negara Mesir melalui Undang-undang nomor 71 Tahun 1946 (tentang wasiat). Dimana dalam Undang-undang Mesir, penerima wasiat wajibah hanya terbatas pada cucu yang ditinggal mati ayahnya, yang terhijab oleh anak-anaknya.

Sedangkan di Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) penerima wasiat wajib adalah anak angkat atau orang tua angkatnya. Tidak diketahui secara pasti, mengapa Kompilasi Hukum Islam merubah konsep wasiat wajibah ini hanya terbatas kepada anak angkat atau kepada orang tua angkatnya saja. Karena sewaktu diadakan wawancara dengan kalangan ulama di seluruh Indonesia, pada saat pengumpulan bahan-bahan Kompilasi Hukum Islam, tidak seorang ulama pun yang dapat menerima penerapan status anak angkat menjadi ahli waris.
Seperti yang telah diungkapkan para ulama diatas perbedaan agama sebagai penghalang untuk dapat saling waris mewarisi, tampaknya masih mewarnai hukum kewarisan dalam Islam dewasa ini. Sedangkan di Indonesia, sekalipun pasal 173 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak meyatakan perbedaan agama sebagai penghalang untuk saling mewarisi, namun pasal 171 hurf b dan c Kompilasi Hukum Islam (KHI) menyatakan bahwa pewaris dan ahli waris dalam keadaan beragama Islam.

Permasalahan wasiat wajibah ini sebenarnya sudah banyak dibahas walaupun hanya sebatas sub bab pada bab warisan, baik dalam buku-buku fiqh maupun karya-karya ilmiah.
Dalam Fiqh Mawaris karya T.M. Hasby Ash Shiddieqy berpendapat bahwa wasiat wajibah dalam konsep Undang-undang Mesir itu bertujuan agar cucu-cucu yang tidak mendapatkan pusaka menerima hak orang tuanya masing-masing.

Kemudian Abdullah Siddik dalam bukunya yang berjududl Hukum Waris Islam dan Perkembangannya di Seluruh Dunia Islam menjelaskan tentang perkembangan hukum Islam, dimulai dari Mesir sebagai pencetus pertama bahwa cucu yatim yang bapaknya meninggal lebih dahulu dari datuk mendapat harta pusaka dari datuknya, yang diletakkan didalam peraturan Undang-undang Mesir nomor 71 tahun 1946, dengan syarat tidak boleh melebihi sepertiga harta pusaka. Jika si datuk tidak berbuat demikian, inilah yang disebut Wasiyyatul al-Wajîbah dan mempunyai keutamaan (proritas dari wasaiat lain). Wasiyyatul al-Wajîbah ini dilakukan terhadap keturunan langsung (liheal descendants) bagaimanapun rendah menurunnya dari seorang anak lelaki maupun anak perempuan yang meninggal lebih dahulu dari si pewaris. Prinsip baru ini kemudian diambil alih oleh Suriah, Tunisia, dan Maroko dalam kitab Undang-undang Hukum keluarga mereka dengan sedikit perubahan. Di Tunisia wajib wasiat dilakukan hanya terhadap cucu laki-laki maupun perempuan keturunan pertama (first generation) dari anak lelaki atau perempuan yang mati lebih dahulu. Sedang di Maroko dan Suriah wajib wasiat dilakukan hanya terhadap keturunan langsung dari anak laki-laki yang mati lebih dahulu dari si mati.

Sayyid Sabiq sendiri dalam Fikih Sunnah menjelaskan tentang tata cara pemecahan masalah yang meliputi wasiat wajibah yaitu:
1. Anak laki-laki yang telah mati diwaktu salah seorang dari kedua orang tuanya masih hidup itu dianggap hidup dan mewarisi, dan bagiannya itu ditentukan menurut kadar seperti halnya kalau ada dia.
2. Bagian orang yang mati tadi dikeluarkan dari harta peninggalan dan diberikan kepada keturunannya yang berhak memeperoleh hak wasiat wajibah, bila wasiat wajibah itu sama dengan sepertiga atau lebih kecil. Bila lebih dari sepertiga, maka dikembalikan kepada anak-anaknya, yang laki-laki mendapat bagian seperti bagian dua orang perempuan.
3. Sisa harta peninggalan dibagikan diantara ahli waris yang sebenarnya menurut ketentuan-ketentuan mereka yang sah.

Kemudian Ridwan dalam bukunya Membongkar Fiqh Negara menjelaskan, ketentuan wasiat wajibah dalam banyak hal dipengaruhi oleh hukum agar menyamakan hak dan kedudukan anak angkat dengan status anak kandung. Dengan demikian konsep wasiat wajibah merupakan modifikasi dari pembaharu yang digali dari nilai lokal. Konsep ahli waris pengganti dan wasiat wajibah merupakan jalan keluar untuk memberi hak kepada Z{awil Arham yang dalam fiqh suny tidak mendapat bagian, selama ahli waris as}h}ab al-furud ada.

Begitu juga dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 263 tahun XV 2004 pembahasan mengenai wasiat wajibah juga diangkat oleh Eko Budiono, dimana beliau mengatakan bahwa wasiat wajibah dapat diberikan kepada kerabat yang non muslim apabila mereka kondisinya sangat miskin dalam bidang ekonomi dibandingkan dengan kerabat lainnya. Jika ternyata kerabat yang non muslim hidupnya berkecukupan dibanding kerabat yang muslim, maka dia tidak mendapatkan wasiat wajibah, karena Islam melarang orang non muslim untuk dapat mendapatkan harta warisan kerabatnya yang muslim.
Fatchur Rahman dalam bukunya Ilmu Waris, menjelaskan bahwa timbulnya wasiat wajibah karena dua hal yaitu:
1. Hilangnya unsur ikhtiar bagi si pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban melalui perundangan atau surat keputusan tanpa tergantung kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan si penerima wasiat.
2. Ada kemiripannya dengan ketentuan pembagian harta pusaka dalam hal penerimaan laki-laki 2 (dua) kali lipat bagian perempuan.

Sedangkan dalam Mimbar Hukum Aktualisasi Hukum Islam, Nomor 23 tahun VI 1995 pembahasan mengenai wasiat wajibah diangkat oleh Raihan A. Rosyid, menyatakan bahwa pasal 209 KHI setelah ditinjau dari berbagai segi, tidak patut untuk dipertahankan.[17Padahal wasiat wajibah ini diterapkan sebagai jalan untuk pemerataan harta peninggalan bagi orang-orang yang tidak dapat mewarisi, tetapi orang-orang tersebut mempunyai hubungan batin yang sangat erat walaupun bukan hubungan pertalian darah. Jadi pada intinya wasiat wajibah ini ditetapkan untuk menciptakan kemaslahatan bagi orang yang berhak mendapatkannya.

Tidak ada komentar: