Rabu, 23 April 2008

PENGANTAR ILMU HUKUM

Oleh: Achmad Fauzi Amsar
I. MAZHAB-MAZHAB ILMU PENGETAHUAN HUKUM
A. Mazhab Hukum Alam
Adapun tentang Hukum Alam telah ada sejak zaman dahulu yang antara lain diajarkan oleh Aristoteles, yang mengajarkan bahawa ada adua macam hukum, yaitu:
1. Hukum berlaku kareana penetapan paenguasa negara.
2. Hukum yang tidak tergantung dari panadngan manusia tentang baik buruknya, hukum yang ”asli”.
Menurut Aristoteles, pendapat orang tentang Keaslian adalah tidak sama sehingga seakan-akan tak ada Hukum Alam yang asli. Namun haruslah diakui, bahawa keaslian sesuatu benda atau hal tidaklah tergantung pada waktu dan tempat, kekecualian dalam sesuatu hal tentulah ada.
Bukanlah syarat mutlak bahwa Hukum Alam itu berlaku di zaman apa saja dan di mana-mana, tetapi lazimnya yaitu dalam keadaan biasa, hukum alam itu memang didapati di mana saja dan di zaman apa saja, berhubung dengan sifat keasliannya yang memang selaras dengan kodrat alam.
Prof. Subekti, S.H, mengatakan, bahwa menrut kodrat alam misalnya tangan kanan adalah lebih kuat dari tangan kiri, tetapi ada juga orang yang tangan kirinya lebih kuat dari tangan kanannya.
Berhubung dengan itu menurut Aristoteles, Hukum Alam itu ialah hukum yang oleh orang-orang berfikiran sehat dirasakan sebagai selaras dengan kodrat alam.
Tomas Van Aquino (1225-1274) berpendapat, bahawa segala kejadian di alam dunia ini diperintah dan dikemudikan oleh suatu ”Undang-undang Abadi” (lex eterna) yang menjadi dasar kekuasaan dari semua peraturan-peraturan lainnya.
Lex Eterna ini ialah kehendak dari fikiran Tuhan yang menciptakan dunia ini. Manusia dikaruniai Tuhan dengankemapuan berfikir dan kecakapan untuk dapat membedakan baik dan buruk serta mengenal berbagai peraturan perundangan yang berlangsung berasal dari ”Undang-undang abadi” itu, dan yang oleh Thomas Van Aquino dinamakan ”Hukum Alam” (Lex Naturalis).
Hukum Alam itu hanyalah memuat asas-asas umum seperti misalnya:
1. Berbuat baik dan jauhilah kejahatan.
2. Bertindak menurut pikiran yang sehat.
3. Ciantailah sesamamu seperti engkau mencintai dirimu.
Menurut Thomas Van Aquino, asas-asas pokok tersebut mempunyai kekuatan yang mutlak, tidak mengenal kekecualian, berlaku di mana-mana dan tetap tidak berubah sepanjang zaman.
Hugo de Groot (Abad ke 17), seorang penganjur Hukum Alam dalam bukunya De jure belli ac pacis (tentang hukum perang dari damai) berpendapat, bahwa sumber Hukum Alam ialah pikiran atau akal manusia.
Hukuim Alam menurut Hugo de Groot, ialah pertimbangn pikiranyang menunjukkan mana yang benar dan mana yang tidak benar. Hukum Alam itu merupakan suatu pernyataan pikiran (akal) manusia yang sehat mengenai persoalan apakah suatu perbuatan sesuai dengan kodrat manusia, dan karena itu apakah perbuatan tersebut diperlukan atau harus ditolak. [1]
B. Mazhab Sejarah
Sebagai reaksi terhadap pemuja hukum Lam,di Eropa timbul suatu aliran baru yang dipelopori OLEH Friedrich Carl Von Savigny (1779-1861) yang terkenal dengan bukunya Van Beruf Unserer Zeit for Gesetzgebung und Rechtswissenshaft (1814).
Von Savigny berpendapat, bahwa hukum itu harus dipandang sebagai suatu penjelmaan dari jiwa atau rohani sesuatu Bangsa, selalu ada suatu hubungan yang erat antara hukum dengan kepribadian suatu Bangsa.
Hukum itu menurut Von Savigny, bukanlah disusun atau diciptakan oleh orang, tetapi hukum itu tiumbuh sendiri ditengah-tengah rakyat. Hukum itu adalah penjelmaan dari kehendak rakyat, yang pada suatu saat juga akan mati apabila suatu Bangsa kehilangan kepribadiannya.
Menurut pendapat tersebut, jelaslah bahwa hukum itu merupakan suatu rangakaian kesatuan dan tak terpisahkan dari sejarah suatu Bangsa, dan kaerena itu hukum itu senantiasa berubah-ubah menurut tempat dan waktu. Jelaslah pula, bahwa pendapat von savigny ini bertentangan dengan ajaran mazhab Hukum Alam, yang berpendapat bahwa hukum alam itu berlaku abadi di mana-mana bagi seluruh manusisa.
Aliran yang menghubungkan Hukum dan sejarah suatu Bangsa dinamakan mazhab sejarah. Mazhab sejarah itu menimbulkan ilmu pengetahuan hukum Positif.
Hukum positif atau Ius contitutum oleh Prof. Sudiman Karthohadiprodjo, S.H, disebut Tata Hukum. Menurut Dr. W.L.G. lemaire ilah Het heir en nu geldend rectt, yaitu Hukum yang baerlaku di daerah (negara) tertentu pada suatu waktu tertentu. [2]
II. TEORI-TEORI HUKUM
A. Teori Teokrasi
Teori tentang Hukum Alam yang telah dijelaskan diatas merupakan bagian dari Filsafat Hukum, yang bertujuan menemukan jawaban atas pertanyaan ”Dari manakah asalanya Hukum dan mengapa kita harus tunduk pada hukum”.
Pada masa lampau di Eropa para ahli fikir (Filsof) menganggap dan mengajarkan, bahwa Hukum itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, dan oleh karena itulah maka manusia diperintahkan Tuhan harus tunduk pada Hukum.
Perintah-perintah yang datang dari Tuhan itu dituliskan dalam Kitab Suci. Tinjauan mengenai Hukum dikaitkan dengan Kepercayaan dan Agama, dan ajaran tentang legitimasi kekuasaan hukum didasarkan atas kepercayaan dan Agama.
Adapun teori-teoro yang mendasarkan berlakunya Hukum atas kehendak Tuhan yang Maha Esa dinakamakan teori Ketuhanan (Teori Teokrasi).
Berhubung pearaturan-peraturan itu diterapkan Penguasa Negara, maka oleh penganjur Teori Teokrasi diajarkan, bahwa para penguasa Negara itu amendapat kuasa dari Tuhan, seolah-olah para Raja dan penguasa lainnya merupakan wakil Tuhan. [3]
B. Teori Kedaulatan Rakyat
Pada zaman Renaissance, timbul teori yang mengajarkan, bahwa dasar hukum itu ialah akal dan Rasio manusia (aliran Rasionalisme).
Menurut aliran Rasionalisme ini, bahwa Raja dan penguasa Negara lainnya memoperoleh kekuasaanya itu bukanlahdari Tuhan, tetapi dari rakyatnya. Pada Abad pertengahan diajarkan, bahwa kekuasaan Raja itu baerasal dari suatu perjanjian atara Raja dengan rakyatnya yang menaklukkan dirinya kepada Raja itu dengan syarat-syarat yang disebutkan dalam perjanjian itu.
Kemudian setelah itu dalam abad ke 18 Jean Jacques Rousseau memperkenalkan teorinya, bahwa dasar terjadinya suatu Negara ialah ”Perjanjian Masyarakat” (Contat Social) yang diadakan oleh dan antara anggota masyarakat untuk mendirikan suatu Negara.
Adapun teori Rousseau tersebut dikemukakannya dalam buku karangannya yang berjudul Le Contat Social (1762). Teori Rousseau yang menjadi dasar faham ”Kedaulatan Rakyat” mengajarkan, bahwa Negara bersandar atas kemauan rakyat, demikian pula halnya semua peraturan-perundangan adalah penjelmaan kemauan rakyat tersebut.
Demikian menurut aliran ini, bahwa Hukum itu adlah kemauan orang seluruhnya yang telah mereka serahkan kepada suatu Organisasi (yaitu Negara) yang telah terlebih dahulu mereka bentuk dan diberi tugas membentuk Hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Orang menaati Hukum, karena orang sudah berjanji mantaatinya. Teori ini dapat juga disebut teori Perjanjian Masyarakat.[4]
C. Teori Kedaulatan Negara
Pada abad ke 19, Teori Perjanjian Masyarakat ini ditentang oleh Teori yang mengatakan, bahwa kekuasaan Hukum tidak dapat didasarkan atas kemauan baersama seluruh anggota masyarakat. Hukum itu ditaati ialah karena Negaralah yang menghendakinya. Hukum adlah kehendak Negara dan Negara itu yang mempunyai kekuatan (power) yang tidak terbatas.
Teori ini dinamakan Teori Kedaulatan Negara, yang timbul pada abad memunculkannya ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Pengajur Teori Kedaulatan Negara, yaitu Hans Kelsen dalam bukunya Reine Rechtslehre mengatakan, bahwa Hukum itu ialah tidak lain daripada ”Kemauan Negar” (Wille des Staates).
Namun demikian, Hans Kelsen mengatakan bahwa orang taat kepada hukum bukan karena Negara menghendakinya, tetapi orang taat pada hukum karena ia merasa wajib mentaatinya sebagai perintah Negara.[5]
D. Teori Kedaulatan Hukum
Prof. Mr. H. Krabbe dari Universitas Leiden menentang Teori Kedaulatan Negara ini. Dalam bukunya yang berjudul Die Lehre der Rechtssouveranitet (1906), beliau mengajarkan, bahwa sumber Hukum ialah rasa keadilan.
Menurut Krabbe, Hukum hanyalah apa yang memenuhi rasa keadilan dari orang terbanyak yang ditundukkan padanya. Suatu peraturan-Perundangan yang demikian bukanlah Hukum, wal;aupun ia masih ditaati ataupun di paksakan.
Teori yang timbul pada abad ke 20 ini dinamakan Teori Kedaulatan Hukum. [6]
E. Asas keseimbangan.
Prof. Mr. R. Kranenburg, murid dari dan pengganti Prof. Krabbe berusaha mencari dalil yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang.
Kranenburg membela ajaran Krabbe, bahwa kesadaran hukum orang itu menjadi sumber hukum. Menurut Kranenburg, hukum itu berfungsi menurut suatu dalil yang nyata (rill).
Dalil yang nyata yang menjadi dasar berfungsinya kesadaran hukum orang dirumuskan oleh Kranenburg sebagai berikut: Tiap orang menerima keuntungan atau mendapat kerugian sebanyak dasar-dasar yang telah ditetapkan atau diletakkan terlebih dahulu.
Pembagian keuntungan dan kerugian dalam hal tidak diterapkan terlebih dahulu dasar-dasarnya, ialah bahwa tiap-tiap anggota masyarakat hukum sederajat dan sama.
Hukum atau dalil ini oleh Kranenburg dinamakan Asas Keseimbanagn, berlaku di mana-mana dan pada waktu apapun. [7]
III. ALIRAN HUKUM
Beberapa aliran atau mashab dalam pemikiran tentang hukum, dipandang sangat penting karena mempunyai pengaruh luas bagi pengelolaan hukum lebih lanjut, seperti dalam pembuatan undang-undang dan penerapan hukum termasuk dalam proses peradilan . Atau dengan kata lain beberapa aliran pemikiran hukum mewarnai praktek hukum. Aliran-aliran hukum tersebut adalah:
1. Aliran Legisme
Aliran ini menganggap bahwa semua hukum terdapat dalam undang-undang. Atau berarti hukum identik dengan undang-undang. Hakim didalam melakukan tugasnya terkait pada undang-undang, sehingga peakerjaannya hanya melakukan pelakasanaan undangf-undang belaka wetstoepassing, dengan jalan pembentukan silogisme hukum, atau juridischesylogisme, yaitu suiatu deduksi logis dari suatu perumusan yang luas, kepada keadaan khusus, sehingga sampai kepada suatu kesimpulan. Jadi menentukan perumusan preposisi mayor kepada keadaan preposisi minor, sehingga sampai pada conclusio, dengan contoh sebagai berikut:
a. Siapa membeli harus membayar (mayor)
b. Si A membeli (membeli)
c. Si A harus membayar (conclusio).
Menurut aliran ini, mengenai hukum yang primeradalah pengetahuan tentang undang-undang, sedangkan mempelajari yurisprudensi adalah masalah sekunder. (Purnadi Purwacaraka, Soerjono Soekanto, perundang-undangan dan yurisprudensi, 1979).
Aliran legisme demikian besarnya menganggap kemampuan undang-undang sebagai hukum, termasuk dalam penyelesaian berbagai permasalahan sosial.
Aliran legisme berkeyakinan bahwa semua persoalan akan segera terselesaikan apabila telah dikeluarakan undang-undang yang mengaturnya. Undang-undang dianggapnya sebagai obat mujarab, obat yang manjur. Undang-undang adalah segala-galanya, sekalipun pada kenyataannya tidak demikian. Pengaruh aliran ini masih berlangsung dibeberapa negara yang telah maju sekalipun. [8]
2. Aliran Freie Rechtsbewegung
Aliran ini bepandangan secra bertolak belakang dengan faham legisme. Ia beranggapan bahwa di dalam melaksanakan tusanya seorang hakim bebas untuk melakukan menurut undang-undang atau tidak. Hal ini disebakan karena pekerjaan hakim adalah melakukan penciptaan Hukum. Akibatnya adalah bahwa memahami yurisprudensi merupakan hal yang primer di dalam mempelajari hukum, sedangkan undang-undang merupakan hal yang sekunder, pada aliran ini hakim benar-benar sebagai pencipta hukum (judge made law), karena keputusan yang berdasar keyakinannya merupakan hukum. Dan keputusannya ini lebih bersifat dinamis dan up to date karena senantiasa memperhatikan keadaan dan perkembangan masyarakat. [9]
3. Aliran Rechtsvinding
Aliran Rechtsvinding dapat dianggap sebagai aliran tengahdi antara aliran-aliran legisme dan freie rechtsbewegung. Menurut faham ini, benar bahwa hakim terkait pada undang-undang, akan tetapi tidaklah seketat seperti menurut pandangan aliran legisme. Karena hkim juga memiliki kebebasan. Namun kebebasan hakim tidak seperti anggapan aliran freie rechtsbewegung, sehingga di dalam melakukan tugasnya hakim apa yang disebut sebagai ”kebebasan yang terkait”, gebonded-vrijheid atau keterikatan yang bebas vrije gebondenheid, oleh sebab itu mak tugas hakim disebutkan sebagai upaya melakukan rechtsvinding yang artinya adalah menselaraskan undang-undang pada tuntutan zaman. Kebebasan yang terkait dan sebaliknya terbukti tercermin dari beberapa kewenangan hakim dalam beberapa hal seperti tindakan penafsiran undang-undang, menentukan komposisi yang meliputi analogi dan membuat pengkhususan dari suatu azas undang-undang yang mempunyai arti luas.
Dari anggapan aliran rechtsvinding terurai di atas dapat diketahui pentingnya yurisprudensi untuk dipelajari, di samping perundang-undangan. Hal ini antara lain karena di dalam yurisprudensi terdapat makna hukum yang kongkrit diperlukan dalam hidup bermasyarakat yang tidak dijumpai dalam kaedah yang terdapat pada undang-undang.
Kelengkapan dalam studi demi penghayatan dan pemahaman hukum haruslah belajar dari undang-undang dan yurisprudensi bersama -
sama.
Ketiga aliran dalam bidang hukum ini sangat penting tidak saja bagi studi secara teoritis, tetapi malahan akan banyak pengaruhnya di dalam pembentukan hukum, penemuan hukum dan penerapan hukum. Mengenai yuruisprudensi seperti telah disinggung sepintas, maka pada hukun Anglo saksis (inggris dan Amerika Serikat), hakim terikat pada keputusan-keputusan dari hakim yang lebih tinggi, dan keputusan terdahulu dari lembaganya sendiri (stare decicis), yang menghasilkan the binding force of presedent, yang tidak dijumpai padas istem hukum negara kita.Namun demikian kita memiliki yurisprudensi yang pemanfaatannya baersifat persuasive presedent, yang berarti tidak mengikat secra mutlak. [10]
IV. SUMBER HUKUM
Adapun yang dimaksud dengan sumber hukum ialah segala apa saja yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang mempunyai kekuatan yang bersifat memaksa, yakni aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan saksi yang tegas dan nyata.
Sumber hukum itu dapat kita tinjau dari segi Materil dan segi Formal:[11]

1. Sumber Hukum Material, dapat ditinjau lagi dari pelbagai sudut, misalnya dari sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat dan sebagainya.
2. Sumber Hukum Formal antara lain ialah:
a. Undang-undang (Statute)
Undang-undang ialah suatau peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat diadakannya dan dipelihara oleh penguasa negara.
1) Syarat-syarat berlakunya Undang-undang
Syarat mutlak untuk berlakunya suatu Undang-undang menurut tanggal yang ditentukan dalam Lembaran Negara (LN) oleh Menteri/Sekretaris Negara.
Tanggal mulai berlakunya suatu undang-undang menurut tanggal yang ditentukan dalam undang-undang itu sendiri. Jika tanggal berlakunya itu tidak disebutkan dalam undang-undang, maka undang-undang itu mulai berlaku 30 hari sesudah diundangkan dalam LN untuk Jawa dan Madura, dan untuk daerah-daerah lainnya baru berlaku 100 hari setelah pengundangan dlam L.N. Sesudah syarat tersebut dipenuhi, maka berlakulah suatu fictie dalam Hukum ”Setiap Orang dianggap telah mengetahui adanya sesuatu Undang-undang”. Hal ini berarti bahwa jika ada seseorang yang melanggar undang-undang tersebut, ia tidak di perkenankan membela atau membebaskan diri dengan alasan ”Sya tidak tahu menahu adanya Undang-undang itu”.
2) Berakhirnya kekuatan berlaku suatu Undang-undang.
Suatu Undang-undang tidak berlaku lagi jika:
a. Jangka Waktu berlaku telah ditentukan oleh Undang-undang itu sampai lampau.
b. Keadaan atau hal untuk nama undang-undang itu diadakan sudah tidak lagi.
c. Undang-undang itu dengan tegas dicabut oleh instansi yang membuat atau instansi yang lebih tinggi.
d. Telah diadakan undang-undang baru yang isinya bertentangan dengan undang-undang yang dulu berlaku.
b. Kebiasaan (costum)
Kebiasaan ialah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal yang sama. Apabila suatu kebiasan tertentu diterima oleh masyarakat, dan kebiasaan itu selalu berulang-ulang dilakukan sedemikian rupa, sehingga tindakan yang berlawanan dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, maka dengan demikian timbullah suatu kebiasaan hukum, yan oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
c. Keputusan-keputusan Hakim (yurisprudensi)
Adapun yang merupakan Peraturan Pokok yang pertama pada zaman Hindia Belanda dahulu ialah Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Indonesia yang disingkat A.B. (ketentuan-ketentuan Umum tentang Peraturan-perundangan untuk Indonesia).
A.B ini dikeluarkan pada tanggal 30 April 1847 yang termuat dalam staatsblad 1847 No. 23, dan hingga saat ini masih berlaku berdasarkan pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945 yang menyatakan ”bahwa badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-undang Dasar ini”.
Keputusan Hakim yang berisikan suatu peraturan sendiri berdasarkan wewenang yang diberikan oleh pasal 22 A.B. menjadilah dasar keputusan hakim lainnya/kemudiannya untuk mengadili perkara yang serupa dan keputusan hakim tersebut lalu menjadi sumber hukum bagi pengadilan. Dan keputusan Hakim yang demikian disebut hukum yurisprudensi.
Jadi yurisprudensi ialah keputusan hakim terdahulu yang sering diikuti dan dijadikan dasar keputusan oleh hakim kemudian mengenai masalah yang sama.
Ada dua macam yurisprudensi yaitu:
a. Yurusprudensi Tetap
b. Yurisprudensi tidak tetap
Adapun yang dinamakan yurisprudensi tetap ialah keputusan hakim yang terjadi karena rangkaian keputusan serupa dan yang menjadi dasar bagi pengadilan (Standard arresten) untuk mengambil keputusan.
Seorang hakim megakui keputusan hakim terdahulu itu karena sependapat dengan isi keputusan tersebut dan lagi pula hanya dipakai sebgai pedoman dalam emngambil sesuatu keputusan mengenai suatu perkara yang serupa.
d. Tarktat (treaty)
Apabila dua orang mengadakan kata sepakat (konsensus) tentang sesuatu hal, maka mereka itu lalu mengadkan perjanjian. Akibat perjanjian ini ialah bahwa pihak-pihak yang bersangkutan terkait pada isi perjanjian yang meraka adakan itu.
Hal ini disebut Pacta Sun Servanda yang berarti, bahwa perjanjian mengikat pihak-pihak yang mengadakannya atau setiap perjanjian harus ditaati dan ditepati.
Perrjanjian yang diadakan oleh dua negar atau lebih disebut perjanjian Antar Negara atau perjanjian Internasional ataupun Traktat. Traktat juga mengikat warganegara-warganegara dari negara-negara yang bersangkutan.
e. Pendapat Sarjana Hukum (Doktrin).
Pendapat para sarjana hukum yang ternama juga mempunyai kekuasaan dan pengaruh dalam pengambilan keputusan oleh hakim.
Dalam yurisprudensi terlihat bahwa hakim sering berpegang pada pendapat seorang atau beberapa orang sarjana Hukum yang terkenala dalam ilmu pengetahuan Hukum. Dalam penetapan apa yang akan dasar keaputusannya, hakim sering menyebut (mengutip) pendapat seorang sarjana Hukum mengenai soal yang harus di selesaikan, apalagi jika sarjana Hukum itu menentukan bagaimana seharusnya. Pendapat itu menjadi dasar keputusan hakim tersebut.


V. SUBYEK HUKUM
Subyek hukum atau subject van een recht, yaitu orang yang mempunyai hak, manuasia pribadi atau badan Hukum yang berhak, berkehendak atau melakukan perbuatan Hukum. Badan Hukum adalah perkumpulan atau organisasi yang didirikan dan dapat bertindak sebagai subyek Hukum, misalnya dapat memiliki kekayaan, mengadakan perjanjian dan sebagainya. Seangkan perbuatan yang dapat menimbulkan akibat Hukum yakni tindakan seseorang berdasarkan suatu ketentuan hukum yang dapat menimbulkan hubungan hukum, yaitu akibat yang timbul dari hubungan hukum seperti perkawinan antara laki-laki dan wanita, yang oleh karenanya memeberikan dan membebankanhak-hak dan kewajiban-kewajiban pada masing-masing fihak. [12]
VI. OBYEK HUKUM
Yang dimaksud dengan obyek Hukum ialah segala sesuatu yang berguna bagi subyek hukum dan yang dapat menjadi obyek sesuatu perbuatan hukum.
Biasanya obyek Hukum itu disebut Benda. Menurut hukum perdata, benda ialah segala barang-barang dan hak-hak yang dapat dimiliki orang (vide pasal 499 Kitab Undang-undangHukum sipil/KUHS).
Dan menurut pasal 503 KUHS, benda itu adpat dibagi dalam:
1. Benda yang Berwujud, yaitu segala sesuatu yang dapat diraba oleh pancaindera, seperti: rumah, buku dan lain-lain.
2. Benda Yang tak Berwujud (Benda imaterial), yaitu segala macam hak seperti: hak cipta, hak merek perdagangan dan lain-lain.
Selanjutnya menurut pasal 504 KUHS benda dapat dibagi atas:
a. Benda yang tak bergearak (benda tetap), yaitu benda yang tak dapat dipindahkan, seperti: tanah, dan segala apa yang ditanamataua dibangun diatasnya, misalnya: pohon-pohon, gedung, mesin-mesin dalam pabrik, hak erfpacht (hak guna usaha), hipotik dan lain-lain.
Kapal besar 20 M3 termasuk juga golongan benda tetap.
b. Benda yang bergerak (benda tetap), yaitu benda-benda yang dapat dipindah, seperti: sepeda, meja, hewan, wesel dan lain-lain. [13]
VII. PERISTIWA HUKUM
Anggota masyarakat setiap hari mengadakan hubungan satu dengan lainnya yang menimbulkan bearbagai peristiwa kemasyarakatan. Peristiwa-peristiwa kemasyarakatan. Yang oleh hukum diberikan akibat-akibat dinakamakan Peristiwa Hukum atau Kejadian Hukum (rechtsfeit). [14]
Peristiwa Hukum adalah semua peristiwa atau kejadian yang dapat menimbulkan akibat hukum, antara fihak-fihak yang mempunyai hubungan hukum. Seperti misalnya perkawinan antara seorang pria dan wanita, akan membawa bersama dari peristiwa hukum itu hak-hak dan kewajiban-keawajiban baik untuk fihak laki-laki yang kemudian bernama suami dengan serangkaian hak–hak dan keawajiban-kewajibannya. Demikian pula fihak wanita yang bernam isteri dengan serangkaian hak dan kewajibannya. Mak perkawinan ini hakikatnya adalah suatu peristiwa hukum, walaupun apabila dilihat dari sudut lain misalnya dapat dinamakan sebagai lembaga-leambaga hukum (institusi Hukum). [15]
VIII. AKIBAT HUKUM
Suatu akibat yang ditimbulkan oleh adanya suatu hubungan hukum. Suatu hubungan hukum memberikan Hak dan kewajiban yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga kalau dilanggar akan berakibat, bahwa orang yang melanggar itu dapat dituntut di muka pengadilan. Suatu hubungan pergaulan persahabatan bisa seperti ingkar janji untuk menonton bioskop bersama tidak membawa akibat hukum. Namun secra non hukum misalanya ganjalan tidak enak dari yang dijanjikan bisa saja terjadi. [16]
IX. HAK
1. Pengertian Hak.
Dalam Hukum seseorang yang mempunyai hak milik atas sesuatu benda kepadanya diizinkan untuk menikmati hasil dari benda miliknya itu. Benda tersebut dapat dijual, digadaikan atau diperbuat apa saja asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Izin atau kekuasaan yang diberiakan Hukum disebut Hak atau wewenag. Jadi pemilik benda itu berhak untuk mengasingkan benda tersebut.
Hak dan wewenang dalam bahasa Latindigunakan istilah Ius dalam bahasa Belanda dpakai istilah Recht ataupun Droit dalam bahasa perancis. Menyalahgunakan hak dalam bahasa Belanda disebut misbruik van recht atau abus de droit dalam bahasa pearancis (menyalahgunakan dalam bahasa perancis detourntment de pouvoir).
2. Hak Mutlak
Hak mutlak ialah hak yang memberikan wewenang kepada seorang untuk melakukan sesuatu perbuatan, hak mana dapat dipertahankan terhadap siapapun juga, dan sebaliknya setiap orang juga harus menghormati hak tersebut.
Hak mutlak dapat pula dibagi dalam tiga goongan
a. Hak Asasi Manusia
b. Hak Publik Mutlak
c. Hak Keperdataan.
3. Hak Nisbi
Hak nisbi atau hak relatif, adlah hak yang memberikan wewenag kepada seorang tertentu atau beberapa orang tertentu untuk menuntut agar supaya seseorang atau beberapa orang lain tertentu memberikan sesuatu, melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu.
Hak relatif dengan sebagian besar terdapat dalam Hukum Perikatan (bagian dari hukum perdata) yang timbul berdasarkan persetujuan-persetujuan dari pihak-pihak yang bersangkutan.






DAFTAR PUSTAKA

C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989).
Dirdjosisworo, Soedjono, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994)

[1] C.S.T. Kansil, S.H, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), hlm. 59-60
[2] Ibid, hlm. 60-61
[3] Ibid, hlm. 61-62
[4] Ibid, Hlm. 62
[5] Ibid, Hlm. 62-63
[6] Ibid, Hlm. 63
[7] Ibid, Hlm. 64
[8] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 159-160
[9] Ibid, hlm. 160
[10] Ibid, hlm. 160-162
[11] C.S.T. Kansil, S.H, Pengantar Ilmu Hukum dan........, hlm. 46
[12] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu......., hlm. 126
[13] C.S.T. Kansil, S.H, Pengantar Ilmu Hukum dan........, hlm. 119
[14] Ibid, hlm. 121
[15] Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu......., hlm. 128
[16] Ibid

Tidak ada komentar: