Rabu, 02 April 2008

TOLERANSI; NILAI DASAR DALAM BERMASYARAKAT

Konflik dan kekerasan bernuansa SARA menunjukkan gejala yang sangat serius belakangan ini. Tentunya banyak faktor yang menyulut persoalan ini toleransi yang terjadi saat ini. Namun ada benang merah yang dapat ditarik dari gejala tersebut, y a k n i Tole
ransi dasar kehidupan bersama di tengah berbagai perbedaan, semakin ditinggalkan dan diganti oleh kecenderungan main hakim sendiri, gampang marah, sensitif terhadap kehadiran pihak lain, curiga terhadap segala sesuatu yang datang dari luar, dan mudah terpancing oleh konflik.
Kecenderungan ini tentu memprihatinkan. Disadari atau tidak, kecenderungan seperti itu akan mengancam masa depan kemanusiaan. Bila muncul pertanyaan: mana lebih mudah antara toleran dan intoleran? Sementara ini harus diakui, bahwa menjadi intoleran lebih mudah dari pada menjadi toleran. Gambaran diatas menjadi bukti bahwa tindakan intoleran seperti kekerasan, intimidasi, penyerangan sebuah kelompok terhadap kelompok lain, bahkan terorisme telah menjadi laku dari sebagian kelompok atau ormas.
Karena itu, fakta intoleransi tersebut telah menyita perhatian banyak pihak untuk melihatnya sebagai problem yang harus diselesaikan selekas mungkin. Salah satu cara yang perlu dilakukan adalah menanamkan kembali nilai-nilai bertasamuh (toleransi) dalam masyarakat terutama bagi para tokoh-tokoh kunci di masyarakat agar lebih apresiatif terhadap perbedaan, sensitif terhadap kepentingan bersama, tanggap terhadap potensi dan ancaman konflik, dan memiliki perhatian untuk bisa diajak membangun resolusi konflik dan peace bulding.
Transformasi dari intoleransi menjadi toleransi merupakan salah satu ukuran maksimal keadaban dan peradaban sebuah bangsa sebuah bangsa, maka secara otomatis tingkat keadaban publik dan peradabannya akan mencapai hasil yang maksimal. Karena itu, toleransi merupakan nilai dan sikap yang harus ditumbuhkembangkan di dalam dan bagi seluruh warga negara.
Michael walzer (1997) memandang toleransi sebagai salah satu keniscayaan dalam ruang individu dan ruang publik, karena salah satu tujuan dari toleransi yaitu membangun hidup damai (peaceful coexsistance) diantara pelbagai kelompok masyarakat dari pelbagai perbedaan latar belakang sejarah, kebudayaan dan identitas. Toleransi, menurut walzer harus mampu membentuk kemungkinan-kemungkinan sikap, antara lain: sikap untuk saling menerima perbedaan, mengubah penyeragaman menjadi keragaman, mengakui hak orang lain, menghargai eksistensi orang lain dan mendukung secara antusias terhadap perbedaan budaya dan keragaman ciptaan Tuhan. Yang terakhir kemudian populer dengan istilah multikuluralisme.
Selain alternatif yang disampaikan diatas perlu juga digalakkan upaya untuk melahirkan fiqh toleransi (Fiqh al-Tasamuh). Fiqh semacam ini mutlak diperlukan dalam rangka memberikan alternatif pemikiran dalam rangka menyikapi realitas kemajemukan, baik dalam bermasyarakat maupun dalam lingkup kehidupan beragama. Paham keagamaan sejak dahulu kala merupakan paham yang bersifat dinamis dan sintetis. Hampir tidak ada paham agama yang bersifat otoriter, karena sifat otoriter hanyalah milik Tuhan. Dalam hal ini, Muktamar Nahdlatul Ulama ke 31 di Boyolali, solo telah melahirkan sebuah keputusan metodologis yang memberikan harapan bagi toleransi paham keagamaan. Yaitu, perlu mengambil keputusan hukum Islam dari empat mahzab sunni yakni Maliki, Hanafi, Hanbali dan Syafi’i.
Dalam skala yang lebih luas, fikih toleransi sejatinya dapat menyentuh tiga wilayah: pertama, pada level diskursus keagamaan dan bermasyarakat. Dalam hal ini, harus dimunculkan kesadaran masif bahwa pada hakikatnya agama dan kehidupan bermasyarakat membawa pesan toleransi, perdamaian dan anti kekerasan. Dalam al-Qur’an banyak sekali pesan tentang toleransi, diantaranya perlunya kebebasan dalam iman dan agama (QS. 109:6), tidak ada paksaan dalam beragama (QS. 2:256), koeksistensi dan saling meghargai (QS. 49:13). Dalam hadits Nabi Muhammad SAW, pernah mendoakan jenazah orang yahudi. Kemudian para sahabat terkejut dan bertanya: ”Bukankah jenazah tersebut adalah orang Yahudi?”. Kemudian Nabi menjawab: “Bukankah dia juga manusia”.
Kedua, pada level legal formal. Dalam rangka rangka mengukuhnya visi toleransi, Nabi Muhammad SAW, dalam berdakwah senatiasa mengedepankan sebuah kesepakatan (gentle agreement) yang secara eksplisit menggariskan toleransi di atas nota kesepahaman. Misalnya, perjanjian al-Fudhul (half al fudhul), piagam Madinah (dustur al-Madinah), perdamaian Hudaybiyah (Shulh al-Hudaybiyah). Pada masa Umar bin Khatab juga muncul kesepakatan perdamaian yang lebih dikenal dengan perjanjian Umar (al-‘Uhdah al-Umariyyah). Keseluruhan kesepakatan tersebut menunjukkan, bahwa Nabi Muhammad SAW dan para penguasa Muslim di masa lalu mempunyai kehendak politik untuk memilih toleransi sebagai pilihan utama. Sedangkan pilihan konflik atau perang merupakan sebuah pengecualian. Artinya, sebisa mungkin di hindari.
Ketiga, pada level basis material. Harus disadari, bahwa toleransi bukanlah konsep kosong, melainkan sebuah konsep yang meniscayakan keadilan dan kesejahteraan sosial. Toleransi harus mempertimbangkan distribusi ekonomi yang adil, terutama bagi kelompok yang terpinggirkan. Masyarakat yang tingkat distribusi ekonominya adil dan sejahtera jauh lebih mudah meminimalisir kekerasan dan intoleransi dari pada masyarakat yang dirundung kemiskinan dan kemelaratan. Karena itu perlu dimaklumi pula, bahwa sikap intoleran seringkali muncul dalam masyarakat yang papa secara ekonomi.
Fikih toleransi sejatinya dapat menjadi agenda nasional, baik pada level kalangan agamawan, wakil rakyat di parlemen dan penentu kebijakan ekonomi. Seluruh lapisan masyarakat harus bekerja keras untuk mewujudkan toleransi. Karena Jhon Locke benar tatkala berkata, bahwa manusia pada hakikatnya mempunyai kebebasan di satu sisi, tetapi juga harus bersikap toleran di bawah naungan hukum yang disepakati bersama.
* Penulis adalah Mahasiswa STAIN Purwokerto Jurusan Syari’ah Prodi Al-Akhwal Asy-Syakhshiyyah (Hukum Perdata Islam), kini eksis di berbagai organisasi dan saat ini masih menjabat sebagai Sekjend BEM STAIN Purwokerto periode 2007-2008. Alamat Jl. Kb. Jeruk Batu sari Jakarta Barat 11530

Tidak ada komentar: