Rabu, 02 April 2008

FIQH AL-IKHTILAF SEBAGAI AKAR PLURALISME ISLAM

Perbedaan (al-Ikhtilaf) adalah sesuatu yang ilmiah yang terjdi dalam mas dan komunitas. Ia tidak bisa ditekan, ditutup atau ditahan dengan doktrin peraturan, undang-undang bahkan dengan senapan sekalipun. Karena itu dalam suatu riwayat Nabi Muhammad SAW menyatakan bahwa “Perbedaan Umatku adalah rahmat bagi mereka”. Kerena perbedaan merupakan perwujudan ruang-ruang artikulasi dan pilihan-pilihan yang memungkinkan setiap orang bisa memperoleh alternatif. Perbedaan adalah merupakan keniscayaan dan ketetapan Allah SWT. Hal ini telah ditegaskan beberapa kali dalam Al-Qur’an. Kalau saja Allah berkehendak, maka Ia akan jadikan mereka menjasdi satu umat saja, tetapi ada orang yang dikehendaki-Nya masuk dalam rahmat-Nya, sementara oram-orang yang zalim tidak ada bagi mereka seorang pelindungpun atau8 seorang penolong (QS. Al-Syura [42]: 8). Manusia pada awalnya adalah satu umat saja, kemudian mereka berselisih. Kalau saja bukan karena ada ketetapan yang telah ada dari Tuhanmu, niscaya akan diberikan keputusan terhadap apa yang mereka perselisihkan itu. (QS. Yunus [10]: 19).
Pada masa lalu, perbedaan-perbedaan ini sering dikelola dalam bingkai mu’min-kafir, kawan-lawan dan senang benci, sehingga tidak sedikit catatan sejarah umat muslim ditulis dengan darah. Tentu saja, ke depan sebisa mungkin sejarah kita tidak lagi didirikan diatas kekerasan dan banjiran darah. Karena itu perlu adanya penghargaan terhadap setiap adanya perbedaan yang muncul dalam masyarakat tanpa andanya intimidasi dan pemaksaan dari golongan tertentu. Kemudian dirumuskan mekanisme relasi yang didasarkan pada prinsip kesederajatan dan keadilan. Dalam hal relasi antar umat beragama, yang perlu di tekankan disini adalah persolan keimanan adalah persoalan hati, kepercayaan, keyakinan dan kecenderungan. Oleh karena itu, proses penyadarannya tidak diperkenankan dengan cara pemaksaan. Pernyataan keimanan harus didasarkan pada proses pilihan, keinginan dan tanpa paksaan.
Kebebasan berkeyakinan dan berpendapat adalah pilar utama yang harus dikedepankan dalam menjalani proses kehidupan bermasyarakat. Dengan kebebasan ini, perbedaan-perbedaan yang ada bisa muncul pada ruang-ruang yang selayaknya dan memperoleh penghormatan bukanlah cacian. Pemaksaan keyakinan tidak lagi bisa ditolelir, apalagi menggunakan kekerasan baik fisik maupun secara non fisik. Metode satu-satunya bagi proses interaksi antara manusia dengan manusia adalah dengan proses dialog antara kedua belah pihak.
Dialog mensyaratkan kesederajatan antara dua pihak; yang satu tidak mesti megklaim yang paling benar dari yang lainnya, apalagi dengan pemakasaan dan kekerasan. Karena kebenaran mutlak adalah milik Allah SWT, Tuhan semesta alam. Tidak ada satupun makhluk yang berhak mengkalim sebagai tentara Tuhan yang menjaga kebenaran-kebenaran-Nya. Karena bagai selain Allah, hanya bisa menduga, memahami dan maenyakini sebatas untuk dirinya sendiri, yang ketika ingin disampaikan kepada orang lain hanya bisa laewat penyadaran dan dialog dengan tidak mengenyampingkan kesederajatan diantara makhluk ciptaan Tuhan.
Keimanan adalah persoalan hati, yang prosesnya hanya bisa dilakukan dengan metode dialog yang setara, dengan tanpa memaksakan klaim kebenarannya kepada orang lain. Kebenaran itu sekali lagi mutlak hanyalah milik sang pencipta alam jagad raya beserta isinya ini yaitu Allah SWT dan pasukan-Nya yang membela kebenaran-kebenaran-Nya hanya diketahui oleh-Nya semata. Bahkan dalam berbagai ayat dalam Al-Qur’an menyarankan untuk menyerahkan persoalan penghakiman dan penilaian terhadap kebenaran suatu keyakinan hanya kepada Allah SWT semata kelak di akhirat nanti. Jika mereka mendebat kamu, maka katakan hanya Allahlah yang kelak menghakimi di antara kalian pada hari kiamat dalam hal yang kamu perselisihkan (QS. Al-Hajj [22]: 68-69).
Dari berbagai sumber rujukan yang terdapat dalam Al-Qur’an dan al-Hadits, ini bisa di rumuskan bahwa kebebasan berkeyakinan dalam Islam didasarkan pada fiqh al-ikhtilaf, yang pilar-pilarnya terdiri dari (1) Perbedaan adalah sesuatu yang secara sengaja diciptakan oleh Allah SWT (2) keyakinan adalah persoalah hati yang tidak bisa dipaksakan oleh pihak mamapun (3) Proses penyadaran haya bisa dilakukan dengan penyadaran dan dialog (4) Pemaksaan sama sekali tidak dibenarkan apalagi dengan jalan kekerasan. Pilar-pilar ini, yang secara ekplisit ditegaskan dalam berbagai ayat al-Qur’an, harus menjadi dasar dalam bertoleransi di masyarakat secra luas.
Mudah-mudahan tulisan singkat ini bisa menjadi gambaran bagi kita umat muslim untuk menjalankan kehidupan sosial tanpa adanya konflik atas dasar toleransi dan kebersamaan diantara kita guna memperkokoh pondasi iman dan ketaqwaan kita kepada Allah SWT. Dan mudah-mudahan tulisan ini bisa menjembatani problematika kehidupan sosial yang saat ini sedang berjalan di kabupaten Banyumas ini.

Tidak ada komentar: